1. Mencari Kebenaran TapiTerbuang Dari Orang-orang Terdekat
Pengalaman kehidupan penulis besar Maryam Jamila, adalah keterasingan pencarian kebenaran itu sendiri. Di dalamnya ada kesendirian yang pedih. Pengucilan menyesakkan dari lingkungan. "Keterpisahan rasa" dengan keluarga yang amat menghimpit.
Maryam dilahirkannn di New York, pada 3 Mei 1934. Ayahnya Herbert S. Marcus, seorang pengusaha memberinya nama Margaret dengan panggilan Peggy. Ketika kanak-kanak Maryam gadis yang peka, dianggap keras kepala dan agak sulit bergaul. Tetapi kecerdasannya sangat menonjol. Pada masa sekolah ia terpandai dikelasnnnya. Bacaannya jauh melampaui kurikulum sekolah. Perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum dijadikan rumah kedua baginya. Pada usia 12tahun ia sudah amat membaca buku., termasuk ensiklopedia. Ia gemar membaca buku tentang bangsa ARAB dan bangsa orang Islam.
Selama 8 tahun masa sekolah dia tak punya teman karena waktunya habis untuk membaca buku. Saat terakhir duduk di SMA karya tulisnya, "The Ethnical Culture Movement" (Gerakan Budaya Etis), membbuat terkesann pimpinan budaya etis di New York dan kemudian menerbitkannya.
Cerita tentanng bangsa Arab mengilhaminya menulis fiktif tentang seorang anak Arab didesa kecil di Palestina. Abak itu diberi nama "Ahmad Khaliil", yang kemudian menjadii judul karangan yang ditulis ketika baru berusia 14 tahun. Ketertarikan pada bangsa Arab dan islam tidak disetujui orang tuanya. Tetapi Maryam malah menyerahkan buku "Children of the Housetops" karangan Youel Basyir Mirza tentang keluarga muslim bahagia dan penuh kasih sayang di Timur Tengah.
Gadis Yahudi ini memang lain dari masa belia. Ia sering pindah dari pusak kerohanian ke pusat kerohanian yang lain, dari yang sepenuhnya bersifat keagamaan, hingga yang bersifat agnostik, atau malah ateistik sama sekali. Rontoknya pilar kepercayaan yang telah dibangun pada dirinya dan tak ada alternatif pengganti ditambah keterasingan akhirnya menjadikan ia psikoanalisis selama 3,5tahun. disusul 2tahun perawatan si Ruham Sakit Jiwa semua ini membuatnya meninggalkan kuliah tanpa izasah.
setelah sembuh ia melanjutkan lagi kesenangannya membaca dan menulis. Maryam masuk islam secara terbuka pada Idul Adha 24 Mei 1961 di Islamic Mission di Brookly New York. Syeh Daud Ahmad Faisal, ketua lembaga the Islamic Mission of America menuntunnya mengucap syahadat. Ia bertutur pada ulama besar Sayyid Abul A'la al Maududi, "Lima hari lalu, di hari Idul Adha sesudah salad Ied dan disaksikan dua teman muslim saya, secara terangan saya mengucapkan syahadat yang menjadikan saya orang islam sepenuhnya. Nama islam saya Maryam Jamila dengan nama itu selanjutnya akan saya pergunakan untuk menandatangani seluruh surat dan tulisan saya. Tetapi karena orang tua dan keluarga saya tidak mau memanggil saya dengan nama arab saya tidak memaksanya. Tetapi dengan anda dan teman seiman saya hanya ingin menggunakan nama saya yang membanggakan ini."
Maryam belum bebas dari keterasingan masyarakat New York yang keristan dan yahudi seolah membuangnya, harapannya untuk mendapatkan pelipur dari saudara seiman di Amerika pun hampa belaka. Berbagai benturan dihadapi ironisnya dari rekan seagamanya.
"Pada umur 19tahun segera setelah saya mempelajari literatur islam yang diterjemahkan dalam bahasa inggris saya melakukan surat menyurat dengan belasan kaum muda dunia Arab dan Pakistan. Tujuan saya agar mendapat pengetahuann lebih mendalam dari tangan pertama tentang arti islam menurut orang islam sendiri, dan mendapat berita tentang islam lebih rinci daripada dimuat diberita. Sebagai hubugan sahabat pena tidak berlangsung lama karena segera saja saya kecawa dengan gaya hidup meraka yang terbaratkan, karena ketakacuhan mereka kadang permusuhann tersembunyi pada agamanya sendiri."
Seperti diakuinya,"Akhirnya serelah 3,5 tahun psikoanalisis yang malah dan tidak membuahka hasil dan dua tahun di rumah sakit, saya baru saja mentas dari masa remaja yang panjang tidak bahagia penuh kesendirian lagi frustasi. Hanya karena Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang sajalah saya meraih kehidupan yang lebih bermanfaat."
Betapa keterasingan pernah menderanya diungkapkannya pada tahun 1962 tak lama setelah keislamanya. Saat itu ia mendengar pendapat bahwa orang yang pindah agama terkena kasus mental, Maryam lantas mengatakan "Reaksi pertama saya adalah ini pernyataan paling menyakitkan yang saya dengar.... penerimaan saya akan islam tindakan saya paling positif, konstruktif, dan bijaksana. Juga saya sadari sepenuhnya islam obat paling mujarap dalam kesehatan mental. Karena keterasingan, keterpurukan, kekacauan emosional membuat saya bekerja keras menemukan landasan hidup ini. Maka bisa dilihat Allah menginginkan apa yang terbaik untuk hambaNya, dan apa yang tampak sebagai bencana itu ternyata bisa menjadi rahmat."
TARBAWI edisi 107 th. 7